Senin, 13 Maret 2017

"It Just Enough" (13.03.17)

Tuhan, apa yang terjadi hari ini benar benar menghantam hatiku. Aku tau tentang kesalahanku. Aku paham tentang betapa bodoh dan kacaunya aku. Tapi Tuhan, jujur, bahkan fikiran ini juga tak mampu membayangkan hal positif yang akan terjadi. Semua rasa takut, gelisah, sedih, senang, putus asa dan rapuh bercampur menjadi satu. Entahlah, aku belum menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku ini.
(13 Maret 2017)

"Aduh, Vika. Kamu kenapa lagi sih, haa? Kamu nulis apa itu di diarymu?"
"Nothing"
"Kamu itu tetep aja yaa, dia, dia, dia dan dia. Yang lain kek. Ada apanya si dia. Lihat kamu, kamu itu sakit sayaang. sakit luar dalem."
"Apasih, aku sehat. Aku gapapa. I'm Fine", jawabku ketus. 
Ya, Erika memang begitu. Dia yang akan marah marah ketika ada seseorang yang menyakitiku bahkan tak segan segan menghabisinya bilamana sampai membuat airmataku menetes. "Ya, kamu sehat. Aku yang sakit", tiampalnya setelah aku diam beberapa saat.
Lihatlah, dia akan terus begitu sampai terdengar tawa dari mulutku ini.
Ya, memang beginilah adanya aku. Vika Reynasandria Lionita. Aku bukan tipe anak diam. Samasekali bukan. Tapi aku akan diam ketika aku merasa bicarapun tiada gunanya. Dan jeleknya, diamku tidak hanya ke satu orang. Tapi ke semua orang yang aku temui. Entahlah, bahkan akan lebih parah jika yang aku temui adalah oran terdekatku. Sahabatku misalnya. Aku tidak tau. Aku hanya beranggapan bahwa mereka akan dengan mudah memaklumiku karena mereka memahamiku. Ya, begitulah. Jadi, Maaf ya.

"Gila lu, kenapa akhir akhir ini nilai lu ga karuan, Vik?", Rico sang ketua kelas menegurku yang tengah duduk di kursi paling depan. Aku terdiam. "Vik, eh. Lu budheg kali yaa", kali ini dia agak merapatkan badan ke arahku. Aku masih terdiam. "Vik, eh bangsat lu", nadanya lumayan keras sampai membuyarkanku dari lamunan. "What?", begitulah responku. Dengan raut wajah dan nada yang datar. Dia tidak tau aku memakai earphone dengan volume melebihi aliran musik cadas konser. Tanpa ba-bi-bu, dia cabut. Bagaimana tidak? tatapan mataku sudah seperti medusa yang kesurupan setan alaska. 

Bel pulang berbunyi, aku masih duduk termenung. Aku memakai masker, sengaja. Sesekali aku meneteskan airmata. Jangan tanya kenapa, aku tidak tau persis alasannya. Earphone ini sudah ada di telingaku sejak aku perjalanan ke sekolah sampai bel pulang berbunyi. Itu artinya sudah kurang lebih 8jam aku mengenakannya. Yang lebih parah lagi, berarti seharian ini aku benar benar mengasingkan diri dari kesibukan kelas, dan isinya. Aku present, tapi absent. 

Erika, Lusiana, Tirta dan Nirwana ternyata sudah mengelilingiku sejak limabelas menit yang lalu. Tidak, aku benar benar tidak menyadarinya. "Kalian nggak pulang?", tanyaku sembari berdiri dan memperbaiki posisi earphoneku. "Eh, kontakku mana?" Sial, aku selalu saja mengulangi kesalahan yang sama. Kemudian Erika menyuruhku duduk. Ya, mungkin dia yang sengaja menyimpan kunci sepeda motorku. Itu memang sudah kebiasaan baiknya. 

"Just tell us, what happend to you?!", Erika memulai pembicaraan.
"Hei?? What? Nothing happend. Everything's okey. I'm Fine", aku setegarnya saja.
"You cry, Bitch. You Cry", kalau saja tidak ditarik Lusi, Erika akan mendorongku saat itu. Begitulah dia, kasar, tapi sayang. " Enggak. aku ngga nangis. Nggaada apa apa, Just believe me and let me go. I wanna go home. Lagian siapa yang nangis, haha", aku membalas mereka dengan tawaku yang amatsangat memaksa. "Fak. You do", dan lagi, Erika murka. Tirta kemudian memegang tanganku, menarikku kembali duduk dan tenang. "Kamu kenapa Vika? Kenapa? Cerita ke kita", Nirwana menyusulnya dengan pertanyaan. Aku melihat mereka satu persatu kemudian terdiam, duduk, dan beruraian airmata. Maaf, aku lepas kendali. 

Di meja, tangisku memuncak. Aku tidaktau pasti siapa diantara mereka berempat yang memelukku. Itu sangat menenangkan. Tapi aku hanya diam. Aku tidak mampu berkata. "Aku ingin bercerita kepada kalian, sungguh. Tapi maaf, untuk kali ini aku belum bisa, ini sangat menyesakkan. Sakit banget rasanya jantungku, guys", Aku berkata sekuatku dan merapikan tempat dudukku, lebih dekat ke mereka. 

"Kamu tau kan, aku sekarang sama siapa. Kamu tau kan bagaimana hubunganku dengan dia? Kalian semua tau kan aku sangat sayang Martin. Ya memang, sebelum dia banyak yang singgah di hatiku, tapi mereka tidak ada bandingannya dengan Martin. Bahkan samasekali. Martin bisa membuatku rapuh ketika pelangi sedang menggores permukaan langit, dan membuatku terbang ketika kalian sedang merasakan hujan badai disini. Aku tau, kalian akan dan selalu ada untukku, tapi Martin lebih spesial. Tentu karena dia lawan jenis dan dia lebih dari teman. Dia adalah semangatku. Adalah hidupku mungkin. Berlebihan yaa? haha", aku menahan ceritaku dan tertawa sedikit.  "Ya, tapi bagaimana lagi, aku yang mengalami. Kau tau kan bagaimana cinta? Ketika dia menyayat hati, yang luka tidak hanya perasaan, tapi fisikpun ikut merasakan. Dan itu aku alami. Sudahlah hanya sebatas itu yang mampu aku ceritakan", aku tersenyum di akhir ceritaku. Teman temanku saling pandang bergantian. Aku mengerti mereka bingung. Memang kubuat, sengaja mereka kubuat berfikir, tentu agar mereka tidak menyuruhku berhenti mencintai Martin.

Tidak, mereka tidak jahat. Tapi bahkan, kalian akan melakukan hal yang sama ketika sahabat atau teman dekat atau orang yang kalian sayang tidak diperlakukan sebagaimana kalian mengistemawakan mereka oleh orang yang mereka istimewakan bukan? Tapi disisi lain, mereka akan buta kawan. Jangan terus memaksa mereka, itu tidak akan berguna. Cobalah untuk selalu menjadi pendengar yang baik, mereka akan lebih membutuhkannya. Jangan judge, jangan sesekali. Mereka cukup kenyang dengan semua cacian sayang. Sudahlah, tak usah bertanya kenapa mereka masih bertahan. Kalian pasti tau filosofi cinta itu buta kan?

It just enough.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BIRTHDAY GIRL !!

  Halooo My GIRLLLL !! It’s been a long time since we met last time right? I know u miss me more than everything haha. You know dear, it...