Tentang Perselingkuhan
Mari sejenak berbicara tentang pengkhianatan. Hal yang
sangat menyakitkan yang selamanya akan terkenang. Hal yang mampu merubah cara
pandang dan berfikir hingga sikap atau bahkan karakter yang kita punya. Lawan dari
dasar cinta, setia. Hal terburuk yang terjadi dalam cerita cinta setiap insan.
Agaknya, kita sudah tidak terkejut lagi mendengar banyaknya
perselingkuhan di rumah tangga. Seperti, memang sudah kodrat dan sudah
sewajarnya. Mungkin demikian pula dengan kawula muda yang tengah merajut asmara,
kasmaran istilahnya. Boleh jadi pasangan yang sangat dipercaya dan tidak
diragukan lagi kesetiaannya, perlahan tertangkap pula busuknya. Hingga kemudian
menggores luka. Baik di hati, maupun fisik secara medis.
Marah, kecewa, ekspresi yang pantas untuk masalah ini. Tapi bagaimana
apabila hati masih menginginkan dirinya? Sedang ini bukan yang pertama. Kata maaf
yang tidak dihirau, kesabaran yang ditepis, ditangkis dan dibiarkan berlalu. Layaknya,
tiada arti bagi pengorbanan sakit hati yang begitu membekas bahkan sampai detik
ini. Luka luka yang tumbuh subur karena ditabur. Rancangan rancangan indah masa
depan yang tiada berguna. Rencana membangun kehidupan berdua, bersama tawa
mesra anak anak, hanya omong kosong belaka. Ternyata, janji manis itu ada ya.
Kemudian, untuk yang kedua kalinya, trauma ini ada. Semakin berkembang,
berbuah menjadi ketakutan yang luar biasa. Apa kabar jiwa raga? Kali ini tengah
tidak percaya pada siapa siapa. Kemudian, terbisik lirih : ketika berharap pada
manusia terlalu pedih, maka sejatinya hanya Tuhanlah tempatmu kembali.
Tidak ada yang mampu kuceritakan selain ketidakmampuanku
menjalani ujian yang Kau beri, Tuhan. Sebatas hari ini aku berlatih
menyembunyikan lara, kemudian tertawa bahagia seakan semuanya baik baik saja. Aku
tengah mengusahakan hal yang terbaik untukku. Pun aku mencoba melupakan, tapi
pikiranku menolak. Sudah terlalu terkoyak. Dengan waktu bersamaan yang
sesingkat ini dari cerita panjang yang kulalui. Betapa aku sungguh tak berdaya.
Beberapa langkah setelah kucoba bangkit, ingatanku mendorongku
terlalu kencang hingga aku terjungkal. Betapa aku meminta tolong kepadamu namun
yang kau beri hanya sengatan sengatan tajam. Sorot matamu bertubi tubi
menusukku seakan aku tidak mampu menjadi pribadi yang ‘seperti biasa’ dan tidak
menghargaimu. Dalam hati aku terisak, berteriak, memaki. Agaknya, kau sama
sekali tidak merasa bahwa aku yang sekarang adalah hasil dari alur cerita yang
kau suguhkan. Alur cerita kita, kau tambahkan dia.
Sekali lagi, hatiku tetap menginginkanmu. Kuturuti mau
hatiku. Semakin perih aku dibuatnya. Rasanya, ingin aku menghapus ingatan
tentang permasalah yang hina ini. Aku muak dibuatnya. Betapa melelahkan
rasanya. Yang kucinta, tak lagi mampu kupercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar